Induktif generalisasi Hipotesis dan teori
analogi hubungan kausal induksi dalam metode eksposisi
Induksi adalah suatu proses berpikir
yang bertolak dari satu atau sejumlah fenomena individual untuk menurunkan
suatu kesimpulan (inferensi). Proses penalaran ini mulai bergerak dari
penelitian dan evaluasi atas fenomena – fenomena yang ada. Karena semua
fenomena harus diteliti dan dievaluasi terlebih dahulu sebelum melangkah lebih
jauh ke proses penalaran induktif, maka proses penalaran itu juga disebut
sebagai suatu corak berpikir yang ilmiah. Namun induksi sendiri tak akan banyak
manfaatnya kalau tidak diikuti oleh proses berpikir yang kedua, yaitu deduksi.
Berpikir induktif merupakan suatu
pemikiran yang bergerak dari premis spesifik ke konklusi umum atau
generalisasi. Observasi dan pengalaman digunakan untuk mendukung generalisasi.
Premisnya tidak menjadi dasar untuk kebenaran konklusi, tetapi memberikan
sejumlah dukungan untuk konklusinya. Konklusi induktif jauh melampaui apa yang
ada pada premisnya.
Setiap argumen induktif tidak dapat
dikatakan sahih atau tidak sahih, tetapi lebih baik atau kurang baik,
bergantung pada berapa tinggi derajat probabilitasnya (kebolehjadian) yang
diberikan premis pada simpulannya. Semakin tinggi probabilitas simpulannya
semakin baik argumen induktif yang bersangkutan, begitu pula sebaliknya, dan
simpulannya tidak mungkin mengandung kepastian mutlak. Konklusi induktif tidak
akan pernah terbukti benar kecuali bila meneliti semua premis khususnya.
Pengertian fenomena – fenomena
individual sebagai landasan penalaran induktif harus diartikan pertama – tama
sebagai data – data maupun sebagai pernyataan – pernyataan (proposisi –
proposisi). Proses Penalaran yang induktif dapat dibedakan lagi atas bermacam –
macam variasi yang berturut – turut akan dikemukakakan dalam bagian – bagian
berikut yaitu:
Generalisasi
Hipotese dan Teori
Analogi
Hubungan Kausal
Induksi dalam Metode Eksposisi
Generalisasi
Generalisasi adalah suatu proses
penalaran yang bertolak dari fenomena individual untuk menurunkan suatu
inferensi yang bersifat umum yang mencakup semua fenomena tadi. Tetapi sebagai
sudah dikatakan diatas, proses berpikir yang induktif tidak ada banyak artinya
kalau tidak diikuti proses berpikir yang deduktif. Sebab itu generalisasi hanya
akan mempunyai makna yang penting, kalau kesimpulan yang diturunkan dari
sejumlah fenomena tadi bukan saja mencakup semua fenomena itu, tetapi juga
harus berlaku pada fenomena – fenomena lain yang sejenis yang belum diselidiki.
Bila kita berbicara mengenai data atau
fakta dalam pengertian fenomena individual tadi, pikiran kita selalu terarah
kepada pengertian mengenai sesuatu hal yang individual. Dalam kenyataannya data
atau fakta yang dipergunakan itu sebenarnya merupakan generalisasi juga, yang
tidak lain dari sebuah hasil penalaran yang induktif. Bila seorang berkata
bahwa mobil adalah semacam kendaraan pengangkut, maka pengertian mobil dan
kendaraan pengangkut merupakan hasil generalisasi juga. Dari bermacam – macam
tipe kendaraan dengan cirri – cirri tertentu ia mendapatkan sebuah gagasan
mengenai mobil, sedangkan dari bermacam – macam alat untuk mengangkut sesuatu
lahirlah abstraksi yang lebih tinggi (= generalisasi lagi) mengenai kendaraan
pengangkut. Contoh – contoh diatas menunjukan bahwa bila pada suatu waktu kita
menghadapi suatu fenomena individual, kita segera menghubungkannya dengan
pengalaman – pengalaman kita pada masa lampau. Semua pengalaman itu secara
alamiah menciptakan dalam pikiran kita suatu generalisasi yang coba
menghubungkan semua peristiwa itu melalui cirri – cirri yang menonjol.
Induksi dan juga generalisasi sebagai
dikemukakan diatas sebenarnya mempunyai variasi yang beraneka ragam, sehingga
penjelasan – penjelasan yang cermat kadang – kadang sukar dutampilkan. Tetapi
mengenai generalisasi sendiri kita masih membedakan generalisasi yang berbentuk
loncatan induktif, dan yang bukan loncatan induktif.
ü Loncatan Induktif
Sebuah generalisasi yang bersifat
loncatan induktif tetap bertolak dari beberapa fakta, namun fakta yang
digunakan belum mencerminkan seluruh fenomena yang ada. Fakta – fakta tersebut
atau proposisi – proposisi yang digunakan itu kemudian dianggap sudah mewakili
seluruh persoalan yang diajukan. Dengan demikian loncatan induktif dapat
diartikan sebagai loncatan dari sebagaian evidensi kepada suatu generalisasi
yang jauh melampaui kemungkinan yang diberi oleh evidensi – evidensi itu.
Generalisasi semacam ini mengandung kelemahan dan mudah ditolak kalau terdapat
evidensi – evidensi yang bertentangan. Tetapi kalau sample yang dipergunakan
itu secara kualitatif kuat kedudukannya, maka generalisasi semacam itu juga
akan kuat dan sahih sifatnya, apalagi kalau bisa diperbanyak lagi fakta atau
evidensi yang menunjang.
Bila ahli – ahli filologi eropa
berdasarkan pengamatan mereka mengenai bahasa – bahasa indo – german kemudian
menarik suatu kesimpulan bahwa di dunia terdapat 3.000 bahasa, maka ini
merupakan suatu loncatan induktif. Bila berdasarkan beberapa pengalaman
mengenai beberapa orang yang dijumpai, seorang mengambil suatu kesimpulan untuk
mengatakan suku A masih sangat terkebelakang, maka hal ini juga merupakan
contoh yang jelas mengenai loncatan induktif.
ü Tanpa Loncatan Induktif
Sebuah generalisasi tidak mengandung
loncatan induktif bila fakta-fakta yang diberikancukup banyak dan meyakinkan,
sehingga tidak terdapat peluang untuk menyerang kembali.
Sebab itu, perbedaan antara
generalisasi dengan loncatan induktif sebenarnya terletak dalam persoalan
jumlah fenomena yang diperlukan. Tetapi dipihak lain, berapa banyak fenomena
yang diperlukan untuk merumuskan sebuah generalisasi yang kuat, tidak dapat
ditetapkan dengan pasti. Ada generalisasi yang sudah akan kuat bila
mempergunakan beberapa fenomena saja. Tetapi ada juga kasus yang menunjukkan
bahwa 100 fenomena, bahkan lebihpun, belum cukup untuk dijadikan landasan yang
kuat untuk merumuskan sebuah generalisasi.
Sebenarnya generalisasi
merupakan proses yang biasa dilakukan oleh setiap orang. Bagi orang kebanyakan,
generalisasi itu tidak lain dari penambahan setengah sadar akan hal-hal yang
umum berdasarkan pengalamannya dari hari ke hari. Bila suatu waktu ia mendapat
hardikan dari atasannya karena membuat suatu kesalahan, maka belum ada suatu
sikapyang timbul pada dirinya. Tetapi bila peristiwa semacam itu dialaminya
berulang-ulang kali, dan juga dialami kawan-kawan lainnya, maka mau tidak mau
akan timbul suatu generalisasi mengenai atasannya itu : Atasannya adalah
seorang yang kejam. Arus baliknya akan menimbulkan suatu sikap : karena
atasan ini seorang yang kejam, maka jangan membuat kesalahan yang kecil
sekalipun, supaya tidak mendapat umpatan dan hardikan yang tidak perlu.
Karena generalisasi itu sering
mendahului observasi atas sejumlah peristiwa yang cukup meyakinkan, maka perlu
diadakan pengecekan atau evaluasi atas generalisasi tersebut. Pengujian
atau evaluasi tersebut terdiri dari :
Harus diketahui apakah sudah cukup
banyak jumlah peristiwa yang diselidiki sebagai dasar generalisasi tersebut
(ciri kuantitatif).
Apakah peristiwa-peristiwa itu
merupakan contoh yang baik (sampel yang baik; ciri kulitatifnya) bagi semua
jenis peristiwa yang diselidiki ? dengan memilih peristiwa-peristiwa yang
khusus, boleh dikatakan bahwa generalisasi itu akan kuat kedudukannya.
Hal lain yang perlu diperhatikan
adalah memperhitungkan kekecualian-kekecualian yang tidak sejalan dengan
generalisasi itu.
Perumusan generalisasi itu sendiri
juga harus absah. Artinya apa yang dirumuskan itu benar-benar merupakan
konsekuensinya logis dari data-data, fakta-fakta atauproposisi-proposisi
yang telah dikumpulkan itu.
Hipotese dan Teori
Hipotesa adalah sebuah Informasi yang
masih belum teruji kebenarannya, sedangkan Teori adalah sebuah fakta yang tepat
dan bisa dipertanggung jawabkan.
Hipotese (hypo : di bawah,
tithenai : menempatkan) adalah semacam teori yang diterima sementara waktu
untuk menerangkan fakta tertentu sebagai penunun untuk meneliti fakta lebih
lanjut. Sebaliknya, teori sebenarnya merupakan hipotese yang secara
relative lebih kuat sifatnya bila dibandingkan dengan hipotese. Teori adalah
azas – azas yang umum dan abstrak yang diterima secara ilmiah dan sekurang –
kurangnya data dipercaya untuk menerangkan fenomena – fenomena yang ada.
Hipotese merupakan suatu dugan yang bersifat sementara mengenai sebab –sebab
atau relasi antara fenomena – fenomena, sedangkan teori merupakan hipotese yang
telah di uji dan yang dapat diterapkan pada fenomena – fenomena yang relevan
atau sejenis.
Dengan demikian, walaupun hipotese
merupakan cara yang baik untuk mempertalikan fakta –fakta tertentu, suatu waktu
hipotese itu dapat ditolak karena fakta – fakta baru yang dijumpai bertentangan
atau tidak lagi menunjang hipotese tadi. Sebab itu persoalan yang dihadapi
adalah bagaimana merumuskan sebuah hipotese yang kuat. Untuk merumuskan sebuah
hipotese yang baik perhatian beberapa ketentuan berikut :
Secara maksimal memperhitungkan semua
evidensi yang ada; semakin banyak evidensi yang digunakan, semakin kuat
hipotese yang diajukan (ciri kuantitatif).
Bila tidak ada alasan – alasan lain,
maka antara dia hipotese yang tidak mungkin diturunkan, lebih baik memilih
hipotese yang sederhana daripada yang rumit. Bila menghadapi seorang mahasiswa
yang tidak lulus ujian ,apakah harus mengatakan bahwa ia tidak lulus karena
tidak belajar dan tidak menguasai pelajarannya, atau karena para dosen menaruh
sentiment terhadapnya sehingga member nilai yang menjatuhkannya?
Sebuah hipotese tidak pernah terpisah
dari semua pengetahuan dan pengalaman manusia walaupun mungkin fakta – faktanya
meyakinkan (prinsipkohorensi).
Hipotese bukan hanya menjelaskan fakta
– fakta yang membentuknya, tetapi juga harus menjelaskan juga fakta – fakta
lain sejenis yang belum di selidiki.
Hubungan hipotese dan teori
Hipotesis ini merupakan suatu jenis
proposisi yang dirumuskan sebagai jawaban tentatif atas suatu masalah dan
kemudian diuji secara empiris. Sebagai suatu jenis proposisi, umumnya hipotesis
menyatakan hubungan antara dua atau lebih variabel yang di dalamnya
pernyataan-pernyataan hubungan tersebut telah diformulasikan dalam kerangka
teoritis. Hipotesis ini, diturunkan, atau bersumber dari teori dan tinjauan
literatur yang berhubungan dengan masalah yang akan diteliti.
Pernyataan hubungan antara variabel,
sebagaimana dirumuskan dalam hipotesis, merupakan hanya merupakan dugaan
sementara atas suatu masalah yang didasarkan pada hubungan yang telah
dijelaskan dalam kerangka teori yang digunakan untuk menjelaskan masalah
penelitian. Sebab, teori yang tepat akan menghasilkan hipotesis yang tepat
untuk digunakan sebagai jawaban sementara atas masalah yang diteliti atau
dipelajari dalam penelitian. Dalam penelitian kuantitatif peneliti menguji
suatu teori. Untuk meguji teori tersebut, peneliti menguji hipotesis yang
diturunkan dari teori.
Analogi
Analogi atau kadang-kadang disebut
juga analogi iduktif adalah suatu proses penalaranyang bertolak dari dua
peristiwa khusus yang mirip satu sama lain, kemudian menyimpulkan bahwa apa
yang berlaku untuk suatu hak akan berlaku pula untuk hal yang lain. Sebab itu
sering timbul salah pengertian antara analogi induktif atau analogi logis sebagai
yang dikemukakan di atas analogi deklaratif atau analogi penjelas yang termasuk
dalam soal perbandingan. Analogi dilakukan karena sesuatu yang dibandingkan
dengan pembandingnya memiliki kesmaan fungsi atau peran. Melalui analogi,
seseorang dapat menerangkan sesuatu yang abstrak atau rumit secara konkrit dan
lebih mudah dicerna.
Analogi yang dimaksud disini adalah
analogi induktif atau analogi logis. Analogi induktif (kias) adalah suatu
proses penalaran yang bertolak dari dua peristiwa atau gejala khusus yang satu
sama lain memiliki kesamaan untuk menarik ebuah kesimpulan. Karena titik tolak
penalaran ini adalah sebuah kesamaan karakteristik diantara dua hal, maka
kesimpulannya akan menyiratkan “apa yang berlaku pada suatu hal akan
berlaku pula untuk hal lainnya” dengan demikian dasar kesimpulan yang digunakan
merupakan ciri pokok atau esensi yang berhubungan erat dari dua hal yang
danalogikan.
Analogi induktif atau analogi logis
sebagai suatu proses penalaran bertolak dari suatu kesamaan actual antara dua
hal. Berdasarkan kesamaan aktual itu, penulis dapat menurunkan suatu kesimpulan
bahwa karena kedua hal itu mengandung kemiripan dalam hal-hal yang penting,
maka mereka akan sama pula dalam aspek-aspek yang kurang penting.
Sebagai ilustrasi mengenai analogi ini
perhatikan contoh berikut.
Nina adalah tamatan Fakultas Ekonomi
Universitas Omega. Ia telah memberikan prestasi yang luar biasa pada perusahaan
Omikron, tempat ia bekerja. Ia telah mengajukan banyak usul mengenai cara
pemecahan atas kesulitan-kesulitan yang dihadapi perusahaannya. Pada waktu
penerimaan pegawai-pegawai baru, Direktur Perusahaan langsung menerima Tomi,
karena Tomi adalah seorang alumnus Fakultas Ekonomi Universitas Omega, seperti
halnya Nina. Semua pelamar-pelamar lain diabaikan begitu saja. Menurut logika
direktur, karena Tomi tamatan Fakultas ekonomi Universitas Omega, maka pasti ia
memiliki juga kecerdasan dan kualitas yang sama atau sekurang-kurangnya sama
dengan Nina.
Dalam hal ini ia tidak mengambil
keputusan karena data-data yang mengungkapkan siapa itu Tomi, tetapi ia melihat
bahwa Tomi berasal dari Fakultas Ekonomi Universitas Omega seperti halnya
dengan Nina yang telah dikenalnya. Bahwa Universitas atau sekurang-kurangnya
Fakultas yang dibina oleh tenga-tenaga dosen yang ahli dan berwibawa dalam
masalah ekonomi. Bahwa Fakultas Ekonomi itu juga mempunyai disiplin yang
tinggi. Bahwa para alumninya juga terkenal dimana-mana. Dan hal itu telah
membuktikan dengan prestasi yang diperlihatkan Nina. Pasti Tomi juga akan
memberikan prestasi yang sama.
Analogi sebagai suatu proses penalaran
untuk menurunkan suatu kesimpulan berdasarkan kesamaan aktual antara dua hal
itu dapat diperinci lagi untuk tujuan-tujuan berikut:
1) Untuk
meramalkan kesamaan. Bila dewasa ini kita sering berbicara mengenai ekologi dan
ekosistem, satuan lingkungan hidup antara unsure-unsur tumbuha-hewan-manusia,
dan berusaha menjaga keharmonisan ekologi tersebut, maka dapat juga dikemukakan
bahwa perpindahan manusia ke suatu lingkungan baru dapat merusak ekologi
tersebut, bukan hanya karena terjadi penebangan hutan dan sebagainya, tetapi
juga hubungan dengan penduduk yang sudah ada dapat mengganggu ekuilibrium yang
ada. Barangkali kita dapat menolak pendapat itu dengan mengatakan bahwa manusia
bukan tumbuh-tumbuhan dan binatang, karena manusia dapat menyesuaikan diri
dengan manusia lainnya. Tetapi kebenaran mengenai kesimpulan di atas toh tidak
dapat disangkal begitu saja. Maka untuk itulahmanusia-manusia yang hendak
memasuki lingkungan yang baru itu harus mempelajari situasi dan adat kebiasaan
penduduk setempat untuk mencegah hal-hal yang tak diinginkan.
2) Untuk
menyingkapkan kekeliruan. Pada suatu waktu orang-orang takut berpergian dengan
pesawat terbang, karena banyak kali terjadi kecelakaan dengan pesawat terbang
yang tidak sedikit banyak meminta korban. Bila demikian sebaiknya orang-orang jangan
tidur ditempat tidur, karena hampir semua manusia yang meninggal normal,
menemui ajalnya di tempat tidur. Kedua pikiran ini sama-sama kaburnya, sehingga
perlu ditolak.
3) Untuk
menyusun sebuah klasifikasi. Bila kita mengetahui mengenai suatu penyakit
dengan gejala-gejala tertentu dan belum tahu yang sebenarnya mengenai nama
penyakitnya, sekurang-krangnya dengan memperhatikan gejala gejala yang timbul,
penyakit itu dapat diklasifikasikan dalam kelas-kelass penyakit tertentu. Dan
klasifikasi sangat diperlukan dan selalu dapat diberikan sebelum proses induksi
atau deduksi.
seperti halnya dengan generalisasi
yang tumpang tindih dengan hipotese, maka analogi ini juag dapat tumpang tindih
dengan hipotese. Tidak ada garis yang tegas membedakan satu dari yang lainnya.
Analogi induktif untuk meramalkan kesamaan bisa juga merupakan hipotese, dan
untuk menyusun klasifikasi jelas ia dapat juga dimasukkan dalam klasifikasi.
Analogi dalam ilmu bahasa adalah
persamaan antar bentuk yang menjadi dasar terjadinya bentuk-bentuk yang lain.
Analogi merupakan salah satu proses morfologi dimana dalam analogi, pembentukan
kata baru dari kata yang telah ada. Contohnya pada kata dewa-dewi, putra-putri,
pemuda-pemudi, dan karyawan-karyawati.
Contoh Analogi :
Kita banyak tertarik dengan planel
mars, karena banyak persamaannya dengan bumi kita. Mars dan Bumi menjadi
anggota tata surya yang sama. Mars mempunyai atsmosfir seperti bumi.
Temperaturnya hampir sama dengan bumi. Unsur air dan oksigennya juga ada.
Caranya mengelilingi matahari menyebabkan pula timbulanya musim seperti bumi.
Jika bumi ada mahluk. Tidaklah mungkin ada mahluk hidup diplanet Mars.
Dr. Maria C. Diamind tertarik untuk
meneliti pengaruh pil kontrasepsi terhadap pertumbuhan cerebal cortex yang
sangat rendah dibandingkan dengan tikus-tikus lain yang tidak diinjeksi.
Berdasarkan studi tiu, Dr. Diamond seorang profesor antomi dari University of
California menyimpulkan bahwa pil kontrasepsi dapat menghambat perkembangan
otak penggunanya. Dari contoh diatas, Dr. Diamond menganalogikan anatomi tikus
dengan manusia. Jadi, apa yang terjadi pada tikus akan terjadi pula pada
manusia.
Hubungan Kausal
Hubungan sebab dan akibat adalah
sebuah bentuk fenomenal yang menghasilkan sesuatu dari dampak yang diakibatkan
dari suatu makna kalimat kemudian digabungkan didalam satu kalimat.
Menurut hukum kausalitas semua
peristiwa yang terjadi di dunia ini terjalin dalam rangkaian sebab akibat.
Tidak ada satu gejala atau kejadian yang muncul tanpa penyebab. Pertama, satu
atau beberapa gejala yang timbul dapat berperan sebagai sebab akibat, atau
sekaligus sebagai akibat didasari gejala sebelumnya dan sebab gejala
sesudahnya. Kedua, gejala atau peristiwa yang terjadi dapat ditimbulkan oleh
satu sebab atau lebih, dan menghasilkan satu akibat atau lebih. Ketiga,
hubungan sebab dan akibat dalam kehidupan sehari-hari,
misalnya ketika seorang ibu melihat
awan menggantung, ia segera memunguti pakaian yang sedang dijemurnya. Tindakan
itu terdorong oleh pengalamannya bahwa mendung tebal (sebab) pertanda akan
turun hujan (akibat). Hujan (sebab) akan menjadikan yang dijemurnya basah
(akibat).
Contoh :
Masalah pengangguran merupakan masalah
serius yang harus diselesaikan pemerintah, seperti beberapa waktu lalu diberitakan
dimedia cetak dan ibu kota, bagaimana ribuan pencari kerja hars berdesakan
bahkankan pingsan untuk mendapatkan pekerjaan. Menurut laporan media cetak hal
ini terjadi karena dalam waktu dekat ini banyak perusahaan menufaktor yang akan
tutup. Sehingga harus melakukan PHK. Selain itu minimnya kahlian atau rendahnya
kualitas SDM menjadi faktor penyebab banyaknya pengangguran di ibukota.
Contohnya dalam menggunakan preposisi
spesifik seperti:
Es ini dingin. (atau: Semua es yang
pernah kusentuh dingin.)
Bola biliar bergerak ketika didorong
tongkat. (atau: Dari seratus bola biliar yang didorong tongkat, semuanya
bergerak.)
Agaknya sejarah timbulnya hubungan
antara sebab dan akibat (hubungan kasual) dapat ditelusuri kembali sampai pada
saat mula timbulnya inteligensia manusia. Secara historis bukti-bukti itu dapat
dicatat kembali sejak abad kelima sebelum masehi, dari seorang filusuf Yunani
yang bernama Leucippus, yang mengatakan bahwa Tidak ada sesuatu pun terjadi
tanpa sebab, tiap hal mempunyai sebab…. (nihil fit sine causa). Dengan mengutip
pendapat filsuf ini, tidak berarti bahwa jauh sebelumnya belum ada pengetahuan
tentang sebab akibat itu.
Untuk tujuan praktis dapat diterima
sebagai dasar bahwa semua peristiwa mempunyai sebab yang mungkin dapat diketahui,
bila manusia berusaha menyelidikinya dan memiliki pengetahuan yang cukup untuk
melakukan penyelidikan itu. Dalam dunia modern ini, kadang-kadang hubungan
antara sebab dan akibat tertentu tidak mudah diketahui. Tetapi itu tidak
berarti bahwa apa yang di catat sebagai suatu akibat tidak mempunyai sebab sama
sekali.
Pada umumnya hubungan kausal dapat
berlangsung dalam tiga pola berikut:
-
Sebab ke akibat
-
Akibat ke sebab, dan
-
Akibat ke akibat
A. Sebab ke Akibat
Hubungan sebab ke akibat mula-mula
bertolak dari suatu peristiwa yang di anggap sebagai sebab yang diketahui,
kemudian bergerak maju menuju kepada suatu kesimpulan sebagai efek atau akibat
yang terdekat. Efek yang ditimbulkan oleh sebab tadi dapat merupakan efek tunggal,
tetapi dapat juga berbentuk sejumlah efek bersama-sama, atau serangkaian efek.
Misalnya kalau saya menekan tombol lampu menyala; Penekanan tombol sebagai satu
sebab akan menimbulkan satu efek yaitu lampu menyala. Tetapi hujan sebagai satu
sebab akan menimbulkan efek serentak, yaitu: tanah-tanah menjadi becek dan
berlumpur, selokan penuh banjir, pakaian yang dicuci tidak lekas kering, mereka
yang tidak tahan udara lembab atau dingin akan jatuh sakit, dan sebagainya.
Sebaliknya sebab dan akibat berantai terjadi: misalnya kenaikan harga minyak
menyebabkan para penyalur bahan makanan menaikkan harga-harga bahan makanan,
harga bahan makanan naik menimbulkan kesulitan hidup, kesulitan hidup dalam
semua bidang menyebabkan kaum buruh menuntun kenaikan upah, dan seterusnya.
B. Akibat ke sebab
Hubungan akibat ke sebab merupakan
suatu proses berpikir yang induktif juga dengan bertolak dari suatu peristiwa
yang dianggap sebagai akibat yang diketahui, kemudian bergerak menuju sebab –
sebab yang mungkin telah menimbulkan akibat tadi.
Contoh :
Ada seorang pasien pergi ke dokter
karena merasa sakit didadanya. Dokter yang di minta bantuannya harus menemukan
sebabnya untuk memberikan pengobatan yang tepat. Ia menetapkan bahwa sakit
didada pasien disebabkan oleh kanker. Jadi jalan pikiran bertolak dari akibat
yang diketahui (sakit di dada) menuju kepada sebuah sebab (kanker).
Hubungan kausal diatas dapat di uji
kebenarannya melalui prosedur – prosedur berikut : Apakah cukup terdapat sebab
untuk menghasilkan sebuah akibat? Harus didapat diyakini bahwa jalan pikiran
itu sudah cukup lengkap dan tidak akan dihalangi oleh faktor – faktor luar.
Cara lain yang dapat dipakai untuk menguji kebenaran sebab akibat adalah
mengajukan pertanyaan : apakah tidak mungkin ada sebab lain yang menimbulkan
akibat itu, maka proses penalaran tadi di anggap benar. Suatu proses penalaran
yang salah mengenai sebab – akibat ini adalah apa yang dinamakan post hoc ergo
propter hoc, yaitu jalan pikiran yang mengatakan “karena sesuatu terjadi
sesudah sesuatu hal yang lain, maka peristiwa itu disebabkan oleh hal yang
terjadi terlebih dahulu”.
Contoh : hari menjadi siang sesudah
ayam berkokok; sebab itu, ayam berkokok menyebabkan hari jadi siang.
C. Akibat Ke Akibat
Hubungan kausal akibat ke akibat
adalah proses penalaran dari suatu akibat menuju suatu akibat yang lain, tanpa
menyebut atau mencari sebab umum yang menimbulkan kedua akibat tadi.
Contoh :
Terjadi sejumlah akibat karena turun
hujan: tanah-tanah menjadi becek dan berlumpur, selokan penuh air, jemuran
basah kembali, dan sebagainya. Ketika seorang ibu kembali dari belanja dari
pasar yang jauh dari rumahnya, iya melihat tanah menjadi becek dan selokan
penuh air. Melihat kondisi ini, ia lantas mengambil kesimpulan bahwa jemuran
yang seharusnya sudah kering, menjadi basah kembali. Dalam hal ini, ia sama
sekali tidak berfikir bahwa jemuran menjadi basah Karena tanah yang becek atau
kerena selokan penuh air, tetapi semua efek dari suatu sebab umum yang sama
yaitu hujan.
Dalam mempergunakan pola penalaran
ini,penulisan atau pembicara harus yakin dengan sungguh – sungguh bahwa
terdapat suatu sebab umum bagi kedua sebab itu.
Induksi dalam Metode Eksposisi
adalah salah satu jenis pengembangan
paragraf dalam penulisan yang dimana isinya ditulis dengan tujuan untuk
menjelaskan atau memberikan pengertian dengan gaya penulisan yang singkat,
akurat, dan padat.
Proses penalaran terbagi atas dua
kelas besar yaitu induksi dan deduksi. Masing-masing corak dapat dibagi lagi
menjadi sejumlah corak penalaran yang tercakup dalam kedua corak utama itu.
Dalam uraian mengenai eksposisi telah dikemukakan pula dalam sejumlah metode.
Untuk mengembangkan suatu karangan yang bersifat ekspositoris. Pada hakikatnya,
semua metode ini juga merupakan proses penalaran yang dapat dimasukkan dalam
salah satu corak penalaran utama.
Metode identifikasi pada prinspinya
baru merupakan perumusan-perumusan kategorial (proposisi kategorial) mengenai
fakta atau evidensi yang diketahui mengenai suatu obyek garapan. Telah
dikemukakan bahwa identifikasi adalah suatu strategi dasar bagi semua metode
eksposisi lainnya. Sama halnya dengan deduksi, semua proposisi kategorial
mengenai fakta-fakta itu dapat dijadikan bahan dasar untuk menyusun
generalisasi, hipotase, dan sebagainya.
Metode perbandingan bisa mencakup
penalaran yang induktif maupun deduktif. Bila perbandingan itu dilakukan untuk
menurunkan suatu prinsip umum, maka corak penalarannya bersifat induktif. Dalam
hal ini, prinsip umum itu dapat berbentuk generalisasi, hipotase, atau teori.
Tetapi bila perbandingan itu bertolak dari suatu prinsip umum untuk menunjukkan
perbedaan antara dua obyek atau lebihterhadap prinsip umum tadi, maka corak
penalarannya bersifat deduktif. Perbandingan juga dapat dilkukan sekedar mencatat
kesamaan dan perbedaan antara dua objek, tanpa mempersoalkan prinsip umum.
Perbedaan atau kesamaan yang disimpulkan itu dapat menghantar kita kepada
hubungan kausal untuk mempersoalkan mengapa terdapat perbedaan atau kesamaan
itu.
Metode klasifikasi juga mencakup
kedua-duanya. Bila klasifikasi itu bertolak dari pengelompokkan sejumlah hal ke
dalam suatu kelas berdasarkan ciri-ciri yang sama, maka ia merupakan induksi.
Bila bertolak dari satu kelas umum utnuk membicarakan ciri-ciri anggota kelas,
maka ia menyangkut deduksi. Selanjutnya karena definisibertolak dari
klasifikasi, dengan sendirinya ia mencakup juga kedua jenis penalaran itu.
Seperti sudah dikemukakan dalam
induksi, analisa kausal termasuk dalam penalaran induktif. Tetapi, analisa
bagian, analisa proses, dan analisa fungsional dapat bercorak induktif, dan
dapat juga bercorak deduktif. Analisa bagian, analisa roses dan analisa
fungsional akan bercorak induktif kalau uraiannya dimulai dari identifikasi
bagian-bagian dengan fungsinya masing-masing menuju kepada suatu kesimpulan
umum mengenai hakikat objek tadi secara keseluruhan. Demikian pula dengan suatu
eksposisi yang dikembangkan dengan metode analisa proses. Sebaliknya bila
uraian itu dimulai dengan suatu pernyataan mengenai hakikat objek garapan itu
secara umum, kemudian penulis berusaha mengkonkritkannya dengan identifikasi
fungsi dar bagian-bagiannya dan proses yang terjadi berkat pelaksanaan fungsi
bagian-bagian itu, maka penalaran yang terdapat padanya adalah deduksi.
Dengan demikian semua metode yang
telah diuraikan dalam eksposisi sekaligus juga dapat dimanfaatkan dalam
argumentasi. Tetapi dalam menerapkan metode-metode itu terdapat perbedaan. Pada
tulisan ekspositoris fakta-fakta diajukan secukupnya untuk mengadakan
konkritisasi atas inti persoalan yang dikemukakan, sehingga para pembaca
mengetahui bukan hanya persoalannya tetapi juga beberapa landasan yang
menunjang inti persoalan. Sebaliknya pada argumentasi fakta-fakta dipergunakan
sebagai evidensi, yaitu sebagai alat pembuktian kebenaran dari persoalan yang
dikemukakan. Oleh sebab itu, cara penggunaanya, penyajiannya, jumlah perincian
yang disajikan haruslah sedemikian rupa, sehingga para pembaca diyakinkan
mengenai kebenaran permasalahannya.
ü Langkah menyusun eksposisi:
Menentukan topik/tema
Menetapkan tujuan
Mengumpulkan data dari berbagai sumber
Menyusun kerangka karangan sesuai
topik yang dipilih
Mengembangkan kerangka menjadi
eksposisi
ü Contoh :
Biar bagaimanapun juga otak selalu
saja mengalahkan otot.
Menurut teori Darwin manusia berasal
dari kera yang berevolusi.
Matahari adalah poros dari perputaran
planet-planet yang mengelilinginya termasuk bumi.
Manusia adalah mahkluk yang paling
istimewa dibandingkan dengan mahkluk-mahkluk lainnya dibumi.
Agar bisa mencapai persentase lulus,
maka hal itu bisa diraih dengan giat belajar.
Referensi atau Sumber :
Gorys Keraf. Argumentasi dan Narasi.
Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2003.
http://studentsite.gunadarma.ac.id