REGULASI UU HAK CIPTA
Peraturan dan Regulasi
(UU No.19 tentang Hak Cipta, UU No.36 tentang Telekomunikasi &
Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik)
Peraturan dan Regulasi
UU No.19 tentang Hak
Cipta
Berdasarkan UU RI no 19
tahun 2002
Bab 1 mengenai
Ketentuan Umum, pasal 1
Hak
Cipta adalah hak eksklusif bagi Pencipta atau penerima hak untuk mengumumkan
atau memperbanyak Ciptaannya atau memberikan izin untuk itu dengan tidak
mengurangi pembatasan-pembatasan menurut peraturan perundang-undangan yang
berlaku.
Pencipta adalah seorang atau beberapa orang secara bersama -sama yang atas
inspirasinya melahirkan suatu Ciptaan berdasarkan kemampuan pikiran, imajinasi,
kecekatan, keterampilan, atau keahlian yang dituangkan ke dalam bentuk yang
khas dan bersifat pribadi.
Ciptaan adalah hasil setiap karya Pencipta yang menunjukkan keasliannya dalam
lapangan ilmu pengetahuan, seni, atau sastra.
Pemegang Hak Cipta adalah Pencipta sebagai Pemilik Hak Cipta, atau pihak yang
menerima hak tersebut dari Pencipta, atau pihak lain yang menerima lebih lanjut
hak dari pihak yang menerima hak tersebut.
Hak
Terkait adalah hak yang berkaitan dengan Hak Cipta, yaitu hak eksklusif bagi
Pelaku untuk memperbanyak atau menyiarkan pertunjukannya; bagi Produser Rekaman
Suara untuk memperbanyak atau menyewakan karya rekaman suara atau rekaman
bunyinya, dan bagi Lembaga Penyiaran untuk membuat, memperbanyak, atau
menyiarkan karya siarannya
Lisensi adalah izin yang diberikan oleh Pemegang Hak Cipta atau Pemegang Hak
Terkait kepada pihak lain untuk mengumumkan dan/atau memperbanyak Ciptaannya
atau produk Hak Terkaitnya dengan persyaratan tertentu.
Ketentuan Umum
Pada dasarnya, hak
cipta merupakan “hak untuk menyalin suatu ciptaan”. Hak cipta dapat juga
memungkinkan pemegang hak tersebut untuk membatasi penggandaan tidak sah atas
suatu ciptaan. Pada umumnya pula, hak cipta memiliki masa berlaku tertentu yang
terbatas.
Hak cipta berlaku pada
berbagai jenis karya seni atau karya cipta atau “ciptaan”. Ciptaan tersebut
dapat mencakup puisi, drama, serta karya tulis lainnya, film, karya-karya
koreografis (tari, balet, dan sebagainya), komposisi musik, rekaman suara,
lukisan, gambar, patung, foto, perangkat lunak komputer, siaran radio dan
televisi, dan (dalam yurisdiksi tertentu) desain industri. Hak cipta merupakan
salah satu jenis hak kekayaan intelektual, namun hak cipta berbeda secara
mencolok dari hak kekayaan intelektual lainnya (seperti paten, yang memberikan
hak monopoli atas penggunaan invensi), karena hak cipta bukan merupakan hak
monopoli untuk melakukan sesuatu, melainkan hak untuk mencegah orang lain yang
melakukannya.
Di Indonesia, masalah
hak cipta diatur dalam Undang-undang Hak Cipta, yaitu, yang berlaku saat ini,
Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002. Dalam undang-undang tersebut, pengertian hak
cipta adalah “hak eksklusif bagi pencipta atau penerima hak untuk mengumumkan
atau memperbanyak ciptaannya atau memberikan izin untuk itu dengan tidak
mengurangi pembatasan-pembatasan menurut peraturan perundang-undangan yang
berlaku” (pasal 1 butir 1).
Lingkup Hak cipta
Lingkup hak cipta
diatur didalam bab 2 mengenai LINGKUP HAK CIPTA pasal 2-28 :
·
Ciptaan yang dilindungi (pasal 12), Ciptaan yang dilindungi adalah Ciptaan
dalam bidang ilmu pengetahuan, seni, dan sastra, yang mencakup: buku, Program
Komputer, pamflet, perwajahan (lay out) karya tulis yang diterbitkan, dan semua
hasil karya tulis lain, ceramah, kuliah, pidato, dan Ciptaan lain yang sejenis
dengan itu, alat peraga yang dibuat untuk kepentingan pendidikan dan ilmu
pengetahuan, lagu atau musik dengan atau tanpa teks, drama atau drama musikal,
tari, koreografi, pewayangan, dan pantomim, seni rupa dalam segala bentuk
seperti seni lukis, gambar, seni ukir, seni kaligrafi, seni pahat, seni patung,
kolase, dan seni terapan, arsitektur, peta, seni batik, fotografi,
sinematografi, terjemahan, tafsir, saduran, bunga rampai, database, dan karya
lain dari hasil pengalihwujudan.
·
Ciptaan yang tidak ada Hak Cipta (pasal 13), hasil rapat terbuka
lembaga-lembaga Negara, peraturan perundang-undangan, pidato kenegaraan atau
pidato pejabat Pemerintah, putusan pengadilan atau penetapan hakim atau
keputusan badan arbitrase atau keputusan badan-badan sejenis lainnya.
Hak-hak yang tercakup
dalam hak cipta
Hak eksklusif
Beberapa hak eksklusif
yang umumnya diberikan kepada pemegang hak cipta adalah hak untuk :
Membuat salinan atau reproduksi ciptaan dan menjual hasil salinan tersebut
(termasuk, pada umumnya, salinan elektronik),
Mengimpor dan mengekspor ciptaan,
Menciptakan karya turunan atau derivatif atas ciptaan (mengadaptasi ciptaan),
Menampilkan atau memamerkan ciptaan di depan umum,
Menjual
atau mengalihkan hak eksklusif tersebut kepada orang atau pihak lain.
Yang dimaksud dengan
“hak eksklusif” dalam hal ini adalah bahwa hanya pemegang hak ciptalah yang
bebas melaksanakan hak cipta tersebut, sementara orang atau pihak lain dilarang
melaksanakan hak cipta tersebut tanpa persetujuan pemegang hak cipta.
Di Indonesia, hak
eksklusif pemegang hak cipta termasuk “kegiatan menerjemahkan, mengadaptasi,
mengaransemen, mengalihwujudkan, menjual, menyewakan, meminjamkan, mengimpor,
memamerkan, mempertunjukkan kepada publik, menyiarkan, merekam, dan
mengkomunikasikan ciptaan kepada publik melalui sarana apapun”.
Selain itu, dalam hukum
yang berlaku di Indonesia diatur pula “hak terkait”, yang berkaitan dengan hak
cipta dan juga merupakan hak eksklusif, yang dimiliki oleh pelaku karya seni
(yaitu pemusik, aktor, penari, dan sebagainya), produser rekaman suara, dan
lembaga penyiaran untuk mengatur pemanfaatan hasil dokumentasi kegiatan seni
yang dilakukan, direkam, atau disiarkan oleh mereka masing-masing (UU 19/2002
pasal 1 butir 9–12 dan bab VII). Sebagai contoh, seorang penyanyi berhak
melarang pihak lain memperbanyak rekaman suara nyanyiannya.
Hak-hak eksklusif yang
tercakup dalam hak cipta tersebut dapat dialihkan, misalnya dengan pewarisan
atau perjanjian tertulis (UU 19/2002 pasal 3 dan 4). Pemilik hak cipta dapat
pula mengizinkan pihak lain melakukan hak eksklusifnya tersebut dengan lisensi,
dengan persyaratan tertentu (UU 19/2002 bab V).
Perlindungan Hak Cipta
Perlindungan hak cipta
pada umumnya berarti bahwa penggunaan atau pemakaian dari hasil karya tertentu
hanya dapat dilakukan dengan ijin dari pemilik hak tersebut. Yang dimaksud
menggunakan atau memakai di sini adalah mengumumkan, memperbanyak ciptaan atau
memberikan ijin untuk itu.
Pasal 12 ayat 1 :
(1)Dalam Undang-undang
ini ciptaan yang dilindungi adalah ciptaan dalam bidang ilmu pengetahuan, seni
dan sastra, yang mencakup :
a.
buku, program komputer, pamflet, perwajahan (lay out) karya tulis yang
diterbitkan, dan semua hasil karya tulis lain;
b. ceramah, kuliah,
pidato, dan ciptaan lain yang sejenis
dengan itu ;
c. alat peraga yang
dibuat untuk kepentingan pendidikan dan
ilmu pengetahuan;
d. lagu
atau musik dengan atau tanpa teks;
e. drama atau drama
musikal, tari, koreografi, pewayangan
dan pantomim;
f.
seni rupa dalam segala bentuk seperti seni lukis, gambar, seni ukir, seni
kaligrafi, seni pahat, seni patung, kolase, dan seni terapan;
g.
arsitektur;
h. peta;
i.
seni batik;
j.
fotografi;
k.
sinematografi;
l.
terjemahn, tafsir, saduran, bunga rampai, data base, dan karya lain dari hasil
pengalihwujudan.
(2) Ciptaan sebagaimana
dimaksud dalam huruf l dilindungi sebagai Ciptaan tersendiri dengan tidak
mengurangi Hak Cipta atas Ciptaan asli.
(3) Perlindungan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), termasuk juga semua Ciptaan yang tidak
atau belum diumumkan, tetapi sudah merupakan suatu bentuk kesatuan yang nyata,
yang memungkinkan Perbanyakan hasil karya itu.”
Menurut Pasal 1 ayat 8
:
Program komputer adalah
sekumpulan instruksi yang diwujudkan dalam bentuk bahasa, kode, skema, ataupun
bentuk lain, yang apabila digabungkan dengan media yang dapat dibaca dengan
komputer akan mampu membuat komputer bekerja untuk melakukan fungsi-fungsi
khusus atau untuk mencapai hasil yang khusus, termasuk penyiapan dalam
merancang instruksi-instruksi tersebut.
Dan Pasal 2 ayat 2:
Pencipta dan /atau
Pemegang Hak Cipta atas karya sinematografi dan program computer (software)
memberikan izin atau melarng orang lain yang tanpa persetujuannya menyewakan
ciptaan tersebut untuk kepentingan yang bersifat komersial.
Pembatasan Hak Cipta
Pembatasan Hak cipta,
Pembatasan mengenai hak cipta diatur dalam pasal 14, 15, 16 (ayat 1-6), 17, dan
18. Pemakaian ciptaan tidak dianggap sebagai pelanggaran hak cipta apabila
sumbernya disebut atau dicantumkan dengan jelas dan hal itu dilakukan terbatas
untuk kegiatan yang bersifat nonkomersial termasuk untuk kegiatan sosial,
misalnya, kegiatan dalam lingkup pendidikan dan ilmu pengetahuan, kegiatan
penelitian dan pengembangan, dengan ketentuan tidak merugikan kepentingan yang
wajar dari penciptanya. Kepentingan yang wajar dalam hal ini adalah
“kepentingan yang didasarkan pada keseimbangan dalam menikmati manfaat ekonomi
atas suatu ciptaan”. Termasuk dalam pengertian ini adalah pengambilan ciptaan
untuk pertunjukan atau pementasan yang tidak dikenakan bayaran. Khusus untuk
pengutipan karya tulis, penyebutan atau pencantuman sumber ciptaan yang dikutip
harus dilakukan secara lengkap. Artinya, dengan mencantumkan sekurang-kurangnya
nama pencipta, judul atau nama ciptaan, dan nama penerbit jika ada. Selain itu,
seorang pemilik (bukan pemegang hak cipta) program komputer dibolehkan membuat
salinan atas program komputer yang dimilikinya, untuk dijadikan cadangan
semata-mata untuk digunakan sendiri.
Selain itu,
Undang-undang Hak Cipta juga mengatur hak pemerintah Indonesia untuk
memanfaatkan atau mewajibkan pihak tertentu memperbanyak ciptaan berhak cipta
demi kepentingan umum atau kepentingan nasional (pasal 16 dan 18), ataupun
melarang penyebaran ciptaan “yang apabila diumumkan dapat merendahkan
nilai-nilai keagamaan, ataupun menimbulkan masalah kesukuan atau ras, dapat
menimbulkan gangguan atau bahaya terhadap pertahanan keamanan negara,
bertentangan dengan norma kesusilaan umum yang berlaku dalam masyarakat, dan
ketertiban umum” (pasal 17). Ketika orang mengambil hak cipta seseorang maka
orang tersebut akan mendapat hukuman yang sesuai pada kejahatan yang dilakukan.
Menurut UU No.19 Tahun 2002 pasal 13, tidak ada hak cipta atas hasil rapat
terbuka lembaga-lembaga Negara, peraturan perundang-undangan, pidato kenegaraan
atau pidato pejabat Pemerintah, putusan pengadilan atau penetapan hakim,
ataupun keputusan badan arbitrase atau keputusan badan-badan sejenis lainnya
(misalnya keputusan-keputusan yang memutuskan suatu sengketa). Pasal 14
Undang-undang Hak Cipta mengatur bahwa penggunaan atau perbanyakan lambang
Negara dan lagu kebangsaan menurut sifatnya yang asli tidaklah melanggar hak
cipta. Demikian pula halnya dengan pengambilan berita aktual baik seluruhnya
maupun sebagian dari kantor berita, lembaga penyiaran, dan surat kabar atau
sumber sejenis lain, dengan ketentuan sumbernya harus disebutkan secara
lengkap.
Prosedur Pendaftaran
HaKI
Sesuai yang diatur pada
bab IV Undang-undang Hak Cipta pasal 35, pendaftaran hak cipta diselenggarakan
oleh Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual (Ditjen HKI), yang kini
berada di bawah [Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia]. Pencipta atau
pemilik hak cipta dapat mendaftarkan langsung ciptaannya maupun melalui
konsultan HKI. Permohonan pendaftaran hak cipta dikenakan biaya (UU 19/2002
pasal 37 ayat 2). Penjelasan prosedur dan formulir pendaftaran hak cipta dapat
diperoleh di kantor maupun situs webDitjen HKI. “Daftar Umum Ciptaan” yang
mencatat ciptaan-ciptaan terdaftar dikelola oleh Ditjen HKI dandapat dilihat
oleh setiap orang tanpa dikenai biaya. Prosedur mengenai pendaftaran HAKI
diatur dalam bab 4, pasal 35-44.
*************************************************************************
UU No.36 tentang
Telekomunikasi
Azas dan Tujuan
Telekomunikasi
Telekomunikasi
diselenggarakan berdasarkan asas manfaat, adil dan merata, kepastian hukum,
keamanan, kemitraan, etika dan kepercayaan pada diri sendiri. Dalam menyelenggarakan
telekomunikasi memperhatikan dengan sungguh-sungguh asas pembangunan nasional
dengan mengutamakan asas manfaat, asas adil, dan merata, asas kepastian hukum,
dan asas kepercayaan pada diri sendiri, serta memprhatikan pula asas keamanan,
kemitraan, dan etika. Asas manfaat berarti bahwa pembangunan telekomunikasi
khususnya penyelenggaraan telekomunikasi akan lebih berdaya guna dan berhasil
guna baik sebagai infrastruktur pembangunan, sarana penyelenggaraan
pemerintahan, sarana pendidikan, sarana perhubungan maupun sebagai komoditas
ekonomi yang dapat lebih meningkatkan kesejahteraan masyarakat lahir dan batin.
Asas adil dan merata adalah bahwa penyelenggaraan telekomunikasi memberikan
kesempatan dan perlakuan yang sama kepada semua pihak yang memenuhi syarat dan
hasil- hasilnya dinikmati oleh masyarakat secara adil dan merata.
Asas kepastian hukum
berarti bahwa pembangunan telekomunikasi khususnya penyelenggaraan
telekomunikasi harus didasarkan kepada peraturan perundang-undangan yang
menjami kepastian hukum dan memberikan perlindungan hukum baik bagi para
investor, penyelenggara telekomunikasi, maupun kepada pengguna telekomunikasi.
Asas kepercayaan pada
diri sendiri, dilaksanakan dengan memanfaatkan secara maksimal potensi sumber
daya nasional secara efisien serta penguasaan teknologi telekomunikasi,
sehingga dapat meningkatkan kemandirian dan mengurangi ketergantungan sebagai
suatu bangsa dalam menghadapi persaingan global.
Asas kemitraan
mengandung makna bahwa penyelenggaraan telekomunikasi harus dapat mengembangkan
iklim yang harmonis, timbal balik, dan sinergi, dalam penyelenggaraan
telekomunikasi. Asas keamanan dimaksudkan agar penyelenggaraan telekomunikasi
selalu memperhatikan faktor keamanan dalam perencanaan, pembangunan, dan
pengoperasiannya. Asas etika dimaksudkan agar dalam penyelenggaraan
telekomunikasi senantiasa dilandasi oleh semangat profesionalisme, kejujuran,
kesusilaan, dan keterbukaan.
Telekomunikasi
diselenggarakan dengan tujuan untuk mendukung persatuan dan kesatuan bangsa, meningkatkan
kesejahteraan dan kemakmuran rakyat secara adil dan merata, mendukung kehidupan
ekonomi dan kegiatan pemerintahan, serta meningkatkan hubungan antarbangsa.
Tujuan penyelenggaraan telekomunikasi yang demikian dapat dicapai, antara lain,
melalui reformasi telekomunikasi untuk meningkatkan kinerja penyelenggaraan
telekomunikasi dalam rangka menghadapi globalisasi, mempersiapkan sektor
telekomunikasi memasuki persaingan usaha yang sehat dan profesional dengan
regulasi yang transparan, serta membuka lebih banyak kesempatan berusaha bagi
pengusaha kecil dan menengah.
Didalam UU no.36
th.1999 terdapat pasal yang menyebutkan tentang azas dan tujuan yaitu terdapat
pada
Pasal 2:
“Telekomunikasi
diselenggarakan berdasarkan asas manfaat, adil dan merata, kepastian hukum,
keamanan, kemitraan, etika, dan kepercayaan pada diri sendiri”
Pasal 3:
“Telekomunikasi
diselenggarakan dengan tujuan untuk mendukung persatuan dan kesatuan bangsa,
meningkatkan kesejahteraan dan kemakmuran rakyat secara adil dan merata, mendukung
kehidupan ekonomi dan kegiatan pemerintahan, serta meningkatkan hubungan
antarbangsa.”
Penyelenggaraan
Telekomunikasi
Dalam rangka
efektivitas pembinaan, pemerintah melakukan koordinasi dengan instansi terkait,
penyelenggara telekomunikasi, dan mengikutsertakan peran masyarakat. Dalam
posisi yang demikian, pelaksanaan pembinaan telekomunikasi yang dilakukan
Pemerintah melibatkan peran serta masyarakat, berupa penyampaian pemikiran dan
pandangan yang berkembang dalam masyarakat mengenai arah pengembangan
pertelekomunikasian dalam rangka penetapan kebijakan, pengaturan, pengendalian
dan pengawasan di bidang telekomunikasi. Pelaksanaan peran serta masyarakat
diselenggarakan oleh lembaga mandiri yang dibentuk untuk maksud tersebut.
Lembaga seperti ini keanggotaannya terdiri dari asosiasi yang bergerak di
bidang usaha telekomunikasi, asosiasi profesi telekomunikasi, asosiasi produsen
peralatan telekomunikasi, asosiasi pengguna jaringan, dan jasa telekomunikasi
serta masyarakat intelektual di bidang telekomunikasi. Ketentuan mengenai tata
cara peran serta masyarakat dan pembentukan lembaga masih akan diatur dengan
Peraturan
Pemerintah.
Setelah mengetahui
pasal yang menyebutkan azas dan tujuan di UU no.36 th.1999 disebutkan juga
tentang penyelenggaraan telekomunikasi yaitu:
Pasal 7:
Ayat1: “Penyelenggaraan
telekomunikasi meliputi :
a. penyelenggaraan
jaringan telekomunikasi;
b. penyelenggaraaan
jasa telekomunikasi;
c. penyelenggaraan
telekomunikasi khusus.”
Dari pasal 7 juga
disebutkan dalam ayat 2:”hal-hal yang diperhatikan dalam penyelenggaraan
telekomunikasi sebagai berikut :
a. melindungi
kepentingan dan keamanan negara;
b. mengantisipasi
perkembangan teknologi dan tuntutan global;
c. dilakukan secara
profesional dan dapat dipertanggungjawabkan;
d. peran serta
masyarakat.”
Jadi dalam
penyelenggaraan telekomunikasi dapat dilakukan oleh badan hukum yang didirikan
untuk maksud tersebut berdasarkan peraturan perundangan-undangan yang berlaku
yang dijelaskan pada pasal 8 ayat 1 dan 2:
Ayat 1:
“Penyelenggaraan jaringan telekomunikasi dan atau penyelenggaraan jasa
telekomunikasi sebagaimana dimaksud dalam pasal 7 ayat (1) huruf a dan huruf b,
dapat dilakukan oleh badan hukum yang didirikan untuk maksud tersebut
berdasarkan peraturan perundangan-undangan yang berlaku, yaitu :
a. Badan Usaha Milik
Negara (BUMN);
b. Badan Usaha Milik
Daerah (BUMD);
c. badan usaha swasta;
atau
d. koperasi;”
Ayat 2:
“Penyelenggaraan Telekomunikasi khusus sebagaimana dimaksud dalam pasal 7 ayat
(1) huruf c, dapat dilakukan oleh :
a. perseorangan;
b. instansi pemerintah
;
c. badan hukum selain
penyelenggara jaringan telekomunikasi dan atau penyelenggara jasa telekomunikasi;”
Penyidikan, Sanksi
Administratif dan Ketentuan Pidana
Ada dua belas ketentuan
dalam undang-undang ini yang dapat dikenai sanksi administratif berupa
pencabutan izin, yang dilakukan setelah diberi peringatan tertulis. Pengenaan
sanksi adminsitrasi dalam ketentuan ini dimaksudkan sebagai upaya pemerintah
dalam rangka pengawasan dan pengendalian penyelenggaraan telekomunikasi.
Keduabelas alasan yang dapat dikenai sanksi administratif itu adalah terhadap:
Setiap penyelenggara jaringan telekomunikasi dan atau penyelenggara jasa
telekomunikasi yang tidak memberikan kontribusi dalam pelayanan;
Penyelenggara telekomunikasi tidak memberikan catatan atau rekaman yang
diperlukan pengguna;
Penyelenggara jaringan telekomunikasi yang tidak menjamin kebebasan penggunanya
memilih jaringan telekomunikasi lain untuk pemenuhan kebutuhan telekomunkasi;
Penyelenggara telekomunikasi yang melakukan kegiatan usaha penyelenggaraan
telekomunikasi yang bertentangan dengan kepentingan umum, kesusilaan, keamanan,
atau ketertiban umum;
Penyelenggara jaringan telekomunikasi yang tidak menyediakan interkoneksi
apabila diminta oleh penyelenggara jaringan telekomunikasi lainnya;
Penyelenggara jaringan telekomunikasi dan atau penyelenggara jasa telekomunikasi
yang tidak membayar biaya hak penyelenggaraan telekomunikasi yang diambil dari
prosesntase pendapatan;
Penyelenggara telekomunikasi khusus untuk keperluan sendiri dan keperluan
pertahanan keamanan negara yang menyambungkan telekomunikasinya ke jaringan
penyelenggara telekomunikasi lainnya;
Penyelenggara telekomunikasi khusus untuk keperluan penyiaran yang
menyambungkan telekomunikasinya ke penyelenggara telekomunikasi lainnya tetapi
tidak digunakan untuk keperluan penyiaran;
Pengguna spektrum frekuensi radio dan orbit satelit yang tidak mendapat izin
dari Pemerintah;
Pengguna spektrum frekuensi radio dan orbit satelit yang tidak sesuai dengan
peruntukannya dan yang saling menggaggu.
Pengguna spektrum frekuensi radio yang tidak membayar biaya penggunaan
frekuensi, yang besarannya didasarkan atas penggunaan jenis dan lebar pita
frekuensi;
Pengguna orbit satelit
yang tidak membayar biaya hak penggunaan orbit satelit.
Dalam UU no.36 th.1999
juga terdapat pasal yang menyangkut tentang penyidikan yaitu terdapat pada
pasal 44 ayat 1 dan ayat 2.
Ayat 1:” Selain
Penyidik Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia, juga Pejabat Pegawai Negeri
Sipil tertentu di lingkungan Departemen yang lingkup tugas dan tanggung
jawabnya di bidang telekomunikasi, diberi wewenang khusus sebagai penyidik
sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Hukum Acara Pidana untuk melakukan
penyidikan tindak pidana di bidang telekomunikasi.”
Ayat 2:” Penyidik
Pegawai Negeri Sipil sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berwenang :
a.
melakukan pemeriksaan atas kebenaran laporan atau keterangan berkenaan dengan
tindak pidana di bidang telekomunikasi;
b.
melakukan pemeriksaan terhadap orang dan atau badan hukum yang diduga melakukan
tindak pidana di bidang telekomuniksi.
c.
menghentikan penggunaan alat dan atau perangkat telekomunikasi yang menyimpang
dari ketentuan yang berlaku;
d.
memanggil orang untuk didengar dan diperiksa sebagai saksi atau tersangka;
e.
melakukan pemeriksaan alat dan atau perangkat telekomunikasi yang diduga
digunakan atau diduga berkaitan dengan tindak pidana di bidang telekomunikasi;
f.
menggeledah tempat yang diduga digunakan untuk melakukan tindak pidana di
bidang telekomunikasi;
g.
menyegel dan atau menyita alat dan atau
perangkat telekomuniksi yang digunakan atau diduga berkaitan dengan tindak
pidana di bidang telekomunikasi;
h.
meminta bantuan ahli dalam rangka pelaksanaan tugas penyidikan tindak pidana di
bidang telekomunikasi; dan
i.
mengadakan penghentian penyidikan.”
Selain Undang-undang
Hukum acara pidana di UU no.36 th.1999 juga disebutkan pasal yang mengenai
sanksi-sanksinya yaitu pasal 45 dan pasal 46. Untuk ketentuan Pidana disebutkan
pada pasal 47 sampai pasal 59.
*************************************************************************
Undang-undang Informasi
dan Transaksi Elektronik
Undang-undang Informasi
dan Transaksi Elektronik adalah ketentuan yang berlaku untuk setiap orang yang
melakukan perbuatan hukum sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini, baik yang
berada di wilayah hukum Indonesia maupun di luar wilayah hukum Indonesia, yang
memiliki akibat hukum di wilayah hukum Indonesia dan/atau di luar wilayah hukum
Indonesia dan merugikan kepentingan Indonesia. Rangkuman singkat dari UU ITE
adalah sebagai berikut:
1.
Tanda tangan elektronik memiliki kekuatan hukum yang sama dengan tanda tangan
konvensional (tinta basah dan bermaterai). Sesuai dengan e-ASEAN Framework
Guidelines (pengakuan tanda tangan digital lintas batas).
2.
Alat bukti elektronik diakui seperti alat bukti lainnya yang diatur dalam KUHP.
3.
UU ITE berlaku untuk setiap orang yang melakukan perbuatan hukum, baik yang
berada di wilayah Indonesia maupun di luar Indonesia yang memiliki akibat hukum
di Indonesia.
4.
Pengaturan Nama domain dan Hak Kekayaan Intelektual.
5.
Perbuatan yang dilarang (cybercrime) dijelaskan pada Bab VII (pasal 27-37):
• Pasal 27 (Asusila,
Perjudian, Penghinaan, Pemerasan)
• Pasal 28 (Berita
Bohong dan Menyesatkan, Berita Kebencian dan Permusuhan)
• Pasal 29 (Ancaman
Kekerasan dan Teror)
• Pasal 30 (Akses
Komputer Pihak Lain Tanpa Izin, Cracking)
• Pasal 31 (Penyadapan,
Perubahan, Penghilangan Informasi)
• Pasal 32 (Pemindahan,
Perusakan dan Membuka Informasi Rahasia)
• Pasal 33 (Virus, DoS)
• Pasal 35 (Pemalsuan
Dokumen Otentik / phishing)
Sumber :
https://andrie07.wordpress.com/2012/05/08/peraturan-dan-regulasi-uu-no-19-tentang-hak-cipta-uu-no-36-tentang-telekomunikasi-undang-undang-informasi-dan-transaksi-elektronik/
No comments:
Post a Comment